Saturday, November 27, 2004

de journal. journal. jurnal.

Kata. Sedari balita pun kita butuh mengeluarkan kata dari mulut kita, tidak lain apa yang disebut orang dengan berbicara. Kita butuh kata-kata untuk menyatakan kita haus, lapar, lelah yang diikuti dengan pemenuhan kebutuhan kita oleh orang-orang di sekitar kita. Seiring dengan tumbuh kembangnya, kita sebagai makhluk sosial benar-benar tidak bisa terlepas dari kata-kata. Untuk memenuhi kebutuhan kita yang lebih tinggi lagi tingkatannya, tidak hanya sekadar kebutuhan primer, matilah kita bila tidak bisa berkata-kata.

Kita sebagai manusia diberi kelebihan masing-masing. Yang terjadi pada umumnya adalah bagian tertentu dari otak kita memiliki perkembangan yang lebih dibandingkan bagian lainnya. Itulah sebabnya kita biasanya hanya memiliki satu profesi yang benar-benar ditekuni. Sebagai contoh, seorang dokter yang mendapat penghargaan saat menangani kelahiran lima orang anak kembar, tidak mungkin pada saat bersamaan menjadi penyair yang terkenal. Aku tidak bilang hal ini tidak mungkin terjadi, tapi adalah langka untuk bisa memiliki kecerdasan visual sekaligus linguistik yang maksimal pada saat yang bersamaan.

Tidak ada satu profesi pun yang bisa dianggap rendah dari profesi lainnya. Karena profesi yang sebenarnya tidak dapat diukur dari berapa besar gaji yang diterima, melainkan effort kita dalam melaksanakannya. Apakah maksimal atau tidak. Memang sekarang-sekarang ini penulis sudah jauh lebih dihargai oleh masyarakat. Bahkan sekarang menulis menjadi semacam gengsi tertentu bagi sebagian orang yang silau penghargaan orang lain. Tapi sangat disayangkan bahwa lapangan pekerjaan maupun “harga” seorang lulusan jurnalistik belum sama dengan lulusan teknik, ekonomi, dan bahkan design (di Indonesia). Padahal apakah lulusan jurnalistik yang menjunjung tinggi kata itu tidak berharga? Salah besar, tanpa kata bahkan dokter tidak dapat menuliskan resep untuk pasiennya.

Probabilitas munculnya lowongan pekerjaan seperti sudah kita ketahui didominasi oleh para lulusan ekonomi dan teknik. Bila ada pekerjaan umum (non jurnalistik) yang ditawarkan, biasanya dikhususkan bagi lulusan-lulusan non jurnalistik. Sedangkan bila ada pekerjaan yang berkaitan dengan jurnalistik, seperti reporter dan presenter, semua lulusan boleh apply! Nah, aku tidak menyalahkan sedikit pun. Karena adalah era global yang membuka kesempatan apapun untuk siapapun. Tapi lalu apa gunanya spesialisasi? Bukankah negara maju ditandai dengan adanya spesialisasi? Menurutku, ada baiknya tidak hanya pekerjaan jurnalistik yang terbuka untuk umum, melainkan pekerjaan lainnya pun terbuka untuk umum. Bukankah semuanya jadi adil? Tapi ya tentu kita tidak dapat menyerahkan pekerjaan seorang dokter kepada seorang sales. Yah, kalaupun terjadi semoga saja pasien tersebut punya asuransi kesehatan tak terbatas dan pengacara khusus malpraktek hehehehe..

Sunday, November 21, 2004

Sebelum ini, jauh-jauh sebelum hidupku disoroti mentari..

Ada kalanya aku memikirkanmu,
menjadi jengkel dan sedih karenamu..
Mungkin kamu yang paling tahu aku,
siapa aku ini dan bagaimana aku bersikap..
Tak ada yang terluput dari matamu,
kau bahkan tahu kadar rasaku kepadamu..
Tapi kau tetap disana, menunggu di depan pintu,
tanpa melangkahkan sebelah kaki pun ke dalam..
Kau begitu berhati-hati, menangani aku yang fragile..
Seakan kau tak ingin menggangguku,
hanya ingin menikmati wujudku dari jauh..
Hanya menyediakan telinga dan tangan untukku,
menjagaku tetap aman dan hangat,
dalam genggaman hati siapapun..

Setelah beribu purnama kulalui, mungkin langit yang jernih memberi pertanda dalam kerlipnya bintang yang maksimal. Aku mencari kemana-mana, di balik gunung yang tertinggi dan samudera yang terdalam. Ternyata seseorang yang kucari sudah ada di sisiku,
baru terlihat saat aku membutuhkannya..

Mungkin aku harus menutup buku dan memulai suatu kisah baru,
karena akhir yang indah selalu memberiku inspirasi..

Welcome Jakarta..!!

Aku baru saja kembali dari Yogya. Dari semua tempat wisata yang ditawarkan oleh temanku Ferly, tidak ada satu pun yang menarik perhatianku. Bukan apa-apa tapi dia memang senang sekali beraktivitas out door yang idem dengan lelah dan keringat. Bayangkan saja, siang hari bolong dia mengajakku ke Borobudur dan Alun2 Kidul. Untung tempat pertama aku lolos, hm cukup sekali semasa sekolah dulu. Tapi yang lucu waktu di Alun2 Kidul. Temanku itu penasaran sekali belum pernah berhasil melewati kedua beringin itu, jadi berkutatlah aku dengan debu dan bisep trisep yang tegang (karena setiap perjalanannya ke beringin yang terhitung lima kali, aku jadi camera person dadakan).

Hanya dua tempat yang menarik minatku, yaitu pasar buku di depan kantor pos besar di Malioboro dan Culture Studies di dekat Atma. Mungkin kalau bisa seharian aku disana, aku pasti membeli banyak buku lama yang murah. Sayang aku hanya sekitar sejam berada di sana. Hasil perburuanku yang paling kubanggakan adalah SGA (seperti biasa), yang berjudul Affair. Seluruh isinya sudah pernah diterbitkan di majalah Jakarta, dan kalau boleh kubilang, hm where those thought came from?!

Aku sempat pergi ke beberapa tempat makan yang menjadi referensi tanteku dan pak dokter Deskian. Btw terima kasih atas jasa besar Actifed selama perjalanan, pak dokter=) Yang pertama adalah restoran Gajah Wong. Memang benar katanya, kalau belum ke Gajah Wong berarti belum ke Yogya. Gajah Wong terdiri dari dua lantai yang terpisah. Di lantai pertama kita dapat menikmati hidangan dengan alunan musik Jazz-Brazil, sedangkan di lantai kedua gamelan dan karawitan terdengar sangat membumi. Interiornya merupakan asimilasi budaya Jawa-Bali dan sedikit Eropa. Dengan penataan meja yang menarik serta adanya pilihan lesehan di dekat taman, Gajah Wong memang sangat mengundang. Terutama bila melihat menu yang variatif, size yang besar dan harga yang terjangkau. Menu yang patut dicoba adalah Orange Duck. Mungkin terlihat promosi sekali, tapi memang benar menurutku restoran ini menempati posisi utama dari restoran yang lainnya.

Tempat makan yang kedua adalah restoran Omah Duwur, yang kami temukan secara tidak sengaja dalam perjalanan menuju Kota Gede. Omah Duwur adalah restoran yang ditempatkan pada rumah kuno dengan langit yang tinggi. Dilengkapi dengan tenda hitam di bagian luar serta landscape yang unik, taman yang asri dengan kolamnya, Omah Duwur memang sesuai dengan referensi.

Tempat makan yang ketiga dan terakhir adalah restoran yang berada di hotel Grand Hyatt. Jangan samakan harga dan view dengan restoran buffeenya. Bogey’s cafĂ© terletak di sebelah lapangan golf di hotel Grand Hyatt tersebut. Bisa dibayangkan menikmati hidangan dengan view lapangan golf di malam hari? Dengan adanya live music, pool table, dan menu yang spesial, lengkaplah sudah makan malam tersebut.

Next time sepertinya harus dicoba menginap di hotel tersebut. Karena viewnya benar-benar luar biasa. Yah mudah-mudahan lain kali juga dengan kepadatan lalu lintas yang sedikit berkompromi, karena kemarin lumayan juga menghabiskan 15 jam di mobil untuk kembali ke Jakarta. Bagaimanapun tetap Jakarta yang menjadi home townku. Mungkin sama seperti yang diceritakan C’mon Lennon dalam Aku Cinta J.A.K.A.R.T.A!